Masjid Gedhe Kauman atau juga disebut Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta atau Masjid Kagungan Dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I sebagai masjid sentral yang dibangun di pusat kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid ini sekaligus menjadi poros sentral bagi lima Masjid Pathok Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun di empat penjuru mata angin, sebagai penanda batas terluar wilayah kesultanan.
Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta berdiri di area seluas sekitar 16.000 meter persegi. Masjid ini berada di sebelah barat alun alun utara Kraton. Masjid yang sarat dengan sejarah kesultanan Jogja ini juga menjadi salah satu bagian sejarah nasional Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di tanah air lahir di Masjid ini.
Pembangunan Masjid Gedhe Kauman dilaksanakan delapan belas tahun setelah berdirinya kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Proses pembangunannya dilaksanakan atas perintah dari Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) dan selesai dibangun pada hari Minggu 29 Mei 1773.
Secara arsitektur, bagian yang khas dari Masjid Gedhe Kauman Yogya yaitu ukiran khas Jawa yang begitu indah menghias interiornya. Layaknya sebuah masjid keraton, Masjid Gedhe Kauman Yogya ini juga dilengkapi dengan maksura yang merupakan area khsusus untuk Sultan
bila sedang sholat di masjid ini.
Masjid Agung Yogya merupakan masjid utama kerajaan yang berfungsi sebagai tempat beribadah, upacara kesagamaan, pusat syiar Islam, dan tempat penegakan tata hukum Islam. Sejak awal mula hingga sekarang Masjid Agung Keraton Yogyakarta merupakan masjid yang sangat penting, tidak saja untuk tempat peribadatan umat Islam secara umum, namun juga untuk penyelenggaraan upacara-upacara adat Keraton Yogyakarta. Rangkaian tradisi di Masjid Gedhe Yogyakarta setiap tahun selalu menarik perhatian warga Yogya dan sekitarnya untuk berebut tumpengan yang di arak hingga ke depan Masjid ini.
Seperti halnya masjid-masjid lain di Jawa, masjid ini beratap limas bersusun tiga, dalam tradisi Jawa disebut sebagai Tajuk Lambang Teplok, lengkap dengan mastaka/mustoko yang mirip dengan daun kluwih/daun simbar dan gadha di ujung atap tertinggi. Keseluruhan struktur atap utama ditopang oleh empat sokoguru utama dari kayu jati Jawa utuh berumur lebih dari 200 tahun berdiri kokoh di ruang sholat utama.
Masjid ini mempunyai dua bagian utama, ruang sholat utama dan serambi Al Makalah Al Kabiroh. Bangunan serambi masjid berbentuk denah empat persegi panjang. Serambi didirikan di atas batur setinggi satu meter. Pada serambi ini terdapat 24 tiang berumpak batu yang berbentuk padma. Umpak batu tersebut berpola hias motif pinggir awan yang dipahatkan. Atap serambi masjid juga berbentuk limasan. Pada tahun 1867 terjadi gempa besar yang meruntuhkan bangunan asli serambi Masjid Gedhe Kauman, lalu diganti dengan menggunakan material yang khusus diperuntukkan bagi bangunan keraton. Tidak ketinggalan pula lantai dasar masjid yang terbuat dari batu kali kini telah diganti dengan marmer dari Italia. Pesona dari Masjid Gedhe Kauman terletak pada beberapa keunikan salah satunya pemasangan batu kali putih pada dinding masjid tidak menggunakan semen dan unsur perekat lain.
Samping kiri belakang mihrab terdapat maksura yang terbuat dari kayu jati bujur sangkar dengan lantai marmer yang lebih tinggi serta dilengkapi dengan tombak. Maksura difungsikan sebagai tempat pengamanan raja apabila Sri Sultan berkenan sholat berjamaah di Masjid Gedhe Kauman. Tidak jauh dari mihrab terdapat Mimbar yang berbentuk singgasana berundak sebagai tempat bagi khotib dalam menyampaikan khotbah Jumat. Mimbar dibuat dari kayu jati berhiaskan ukiran indah dengan ornamen floral berwarna emas.
Dari berbagai Sumber